Potret Kegiatan Belajar Anak di Perkebunan Kopi Kediri Peninggalan Belanda Saat Adaptasi Kebiasaan Baru

Siang cukup terik. Matahari berpijar terang. Udara segar di lereng Gunung Kelud Kediri beserta kicauan merdu burung perkebunan kopi peninggalan Belanda. Yakni di Perkebunan Kopi Damarwulan PTPN XII di Desa Puncu. 

“Pak, kita dikasih buku baru kan ini,” kata Difa. Bocah berumur 4 tahun ini kegirangan ketika melihat kedatangan Bowo Wicaksono. Ia beserta keempat temannya pun mengikuti langkah Bowo dan Agus Widodo ke bekas Sekolah Dasar Negeri (SDN) Puncu V. Sekitar 30 tahun SD tersebut sudah digunakan lagi. Duduk lesehan di teras bekas sekolah itu, Bowo segera mengambil papan tulis, wayang-wayangan, buku gambar, dan krayon untuk kelima anak tersebut. 

Papan tulis pun disandarkan ke tembok yang reyot. Tanpa basa-basi, bowo langsung menggambar wajah bermasker dan dua telapak tangan. “Coba Pak Bowo pingin lihat anak-anak bisa gambar apa gak?” tanya Bowo kepada mereka. 

Pertanyaan itu pun dijawab dengan gembira dan cekatan dengan menggoreskan krayon warna-warni itu ke kertas yang telah dibagikan Bowo. Imajinasi anak yang berkembang bersama warna-warni krayon itu digoreskan ke kertas tersebut. Satu persatu gambar pun selesai. Sekitar 30 menit, Bowo menunggu mereka menggambar, lalu ia juga memperagakan sebagi dalang dengan wayang-wayangan yang dibawanya. Ada wayang siswa dan polwan. “Pak Bowo mau cerita, ini lho Bu Polwan lagi pakai masker. Kira-kira kenapa kok disuruh pakai masker ya?” tanya Bowo kepada kelima anak itu.

Serentak mereka menjawab karena Corona. Dalam peragaan itu, Bowo sangat luwes sekali menceritakan anjuran kesehatan untuk menjaga jarak, mencuci tangan dan menggunakan masker. Hal ini dikarenakan pandemi yang masih mencengkeram Indonesia. Begitulah, aktivitas AKP Bowo WIcaksono. Seorang Kapolsek Puncu yang menyempatkan waktunya untuk anak-anak di perkebunan kopi kuno yang berdiri sejak 1935 silam.

Ia mengaku tidak tega melihat kondisi anak yang berada di lereng Gunung Kelud ini. Dikarenakan, tidak ada fasilitas untuk belajar. Sehingga, ia rela harus naik ke lereng Kelud tersebut sejauh sekitar 5 Km. “Kami ingin mereka terus belajar, kalau pun mereka butuh internet untuk mengerjakan tugas, anak-anak harus turun diantar orang tuanya dengan medan yang sangat berat karena pasir berbatu,” ungkap pria 42 tahun tersebut.

Bahkan, menurut Mandor Besar Ahmad Romadhon selain tidak adanya internet, 19 kepala keluarga di kawasan perkebunan kopi ini juga belum mendapatkan aliran listrik dari PLN. Meskipun selama ini, mereka bisa merasakan listrik dari genset pribadi. “Jangankan internet, kami listrik masih pakai genset, ya begini kondisinya,” terang Romadhon kepada media Kamis (23/7) siang.

Ketua RT 1 Kampung Damarwulan, Dusun Mangli, Desa Puncu Agus Widodo merasa senang sekali karena Bowo dan jajaran selalu menyempatkan waktu untuk anak-anak mereka. Sehingga, anak mereka mendapatkan perhatian untuk belajar juga. Ia menyadari kondisi pandemi COVID-19 membuat kegiatan belajar anak semakin berat. Karena, mereka harus naik turun jika ingin mendapatkan sinyal agar anak dapat mengirimkan tugas secara daring.

Dikutip dari artikel tugumalang.id

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama